Don't Say Goodbye


Jam besar yang ada di luar kamar berdentang dua belas kali. Saat itu waktu menunjukkan pukul 12, tanggal berikutnya.
Di malam selarut itu, seharusnya manusia yang biasanya beraktifitas ketika hari terang beristirahat dengan tenang. Tapi bagi manusia yang sedang berusaha meraih gelar sarjana, mereka adalah pengecualian. Terlebih bagi mereka yang esok harinya akan menghadapi ujian. Ditemani secangkir kopi hangat dan buku-buku tebal mengenai materi yang akan diujiankan, mereka mengarungi malam hingga fajar menjelang.
Waktu itu, hal yang sama juga dialami oleh Valia. Gadis yang tengah mengenyam pendidikan di fakultas Sastra Indonesia, di sebuah universitas negeri terkenal di kota itu, dari siang telah mendekam di dalam kamar hanya demi menghapal materi-materi yang akan diujiankan esok hari.
Valia sudah selesai belajar sejak tigapuluh menit yang lalu. Buku-buku tebal yang berserakan di sisi lain tempat tidurnya telah dikupastuntaskannya. Harusnya saat itu Valia sudah terlelap dan menikmati mimpi indahnya. Namun karena secangkir kopi yang tiga jam lalu diminumnya, sampai saat itu mata Valia masih segar dan terbuka lebar. Walaupun sudah beberapa kali ia menguap sejak tadi, namun matanya enggan menutup.
Tubuhnya benar-benar tidak dapat menolerir kopi dengan baik. Dan pertanyaannya, sampai kapan ia akan terjaga seperti ini? Apa yang akan dilakukannya di malam yang telah larut dan sendirian? Jawabannya adalah tidak kalau untuk pilihan membaca ulang buku-buku yang telah dilahapnya tadi. Kepalanya sudah pening karena melihat deretan kalimat yang seakan tiada habisnya itu.
Akhirnya Valia memilih untuk membuka laptopnya selagi menunggu kantuk menghampirinya. Saat itu Valia iseng membuka Skype dan melihat daftar online-nya. Ternyata, saat itu ada seseorang yang masih online. Senyum terbit di bibir Valia ketika membaca nama orang itu.
Yoga.
Yoga adalah salah satu kakak kelasnya ketika SMP dulu. Dulu mereka sempat dekat. Tapi setelah Yoga melanjutkan sekolahnya di luar kota, mereka putus komunikasi sampai dua bulan yang lalu.
Dua bulan yang lalu, tiba-tiba Yoga kembali muncul di kehidupan Valia. Laki-laki itu menambahkan dan mengikuti seluruh akun media sosial milik Valia. Valia tidak tahu apa yang terjadi dengan Yoga, tapi makin kemari, hubungan mereka semakin dekat. Mungkin karena sudah lumayan lama sendiri—tanpa kekasih, Valia langsung nyaman dengan Yoga dan mulai berharap lebih dengan hubungan mereka yang sebenarnya tidak jelas.
Perhatian, tapi tidak ada hubungan apa-apa; sayang, tapi bukan siapa-siapa; kangen, tapi tidak tahu cara menjelaskan ke dia bagaimana; cinta, tapi sayang, hubungan mereka tidak jelas. Cinta tapi teman, mungkin masih tidak apa-apa. Tapi, mereka yang sudah sekian lama tidak bertemu dan ketika kembali saling menyapa langsung saling perhatian dan berbagi kasih sayang, apakah bisa disebut teman?
Atau, memang Valia-nya saja yang terlalu percaya diri menganggap hubungan mereka seintim itu?
Ketika sibuk memikirkan arah hubungannya dengan Yoga yang belum ada kepastian, sebuah notifikasi muncul di Skype. Sebuah panggilan dari Yoga. Sebelum menjawabnya, Valia merapikan tampilannya seadanya.
“Kok belum tidur? Di Indonesia bukannya udah jam duabelas lewat, ya?” Kalimat itu menjadi sapaan Yoga pertama kali. Wajahnya yang tampan terpampang jelas di layar monitor laptop Valia. Dari latar yang ada, Valia menebak saat ini Yoga sedang berada di ruang kerjanya.
“Baru selesai belajar buat ujian besok nih. Tadi minum kopi, makanya jadi nggak bisa tidur sampai sekarang.” Valia terbiasa menjelaskan panjang-lebar jawaban dari setiap pertanyaan Yoga. Entah kenapa, ia selalu ingin berlama-lama mengobrol dengan laki-laki itu.
“Ya ampun.” Yoga menampilkan ekspresi khawatir di wajahnya. Dan itu kentara sekali dari nada suaranya ketika bertanya, “Terus gimana? Kamu kan, besok ujian, tapi selarut ini masih bangun. Besok ujiannya pagi, kan?”
“Iya, pagi. Tenang aja deh, aku mau tidur jam berapa pun, kalo udah dengar adzan Shubuh, pasti kebangun juga.” Valia nyengir, memperlihatkan breket giginya yang berwarna biru. “How’s Paris today, anyway?” Valia tiba-tiba mengubah topik obrolan. Entahlah, ia tidak ingin Yoga mencemaskannya, walaupun di dalam hatinya, ia senang sekali Yoga mencemaskan keadaannya.
“Dingin banget. Suhu di sini sampai minus 7 derajat. Kalau bukan karena kerjaan, malas banget rasanya buat keluar rumah hari ini.”
“Jangan malas-malas, dong! Harusnya, kamu tuh, makin semangat karena sekarang kamu ada di Paris. Paris, loh, Paris! Aku bahkan rela menukar apa pun yang aku punya supaya bisa ke Paris, Prancis.”
Yoga memutar kedua bola matanya mendengar jawaban Valia yang dramatis. “Iya, iya... nggak malas-malas lagi, kok.” Sejurus kemudian, senyum jail tersungging di bibirnya. “Kasian banget deh, kamu, ya. Dari SMP punya cita-cita pengin ke Paris tapi sampai sekarang belum juga kesampaian. Sementara aku, yang dulunya sering ngejekin cita-cita kamu itu, malah sekarang ada di Paris. Hidup kadang memang nggak adil, ya.” Yoga tertawa puas melihat Valia menekuk wajahnya.
“Ketawain aja terus. Ketawain sampai puas!”
“Dih, ngambek dia.”
“Tau ah, aku ngantuk! Mau tidur!”
Di seberang sana, Yoga tertawa. “Kalau ngambek aja, ngantuknya cepat banget.” Kemudian, sebuah senyum lembut yang paling Valia sukai tergurat di wajah tampan Yoga. “Ya udah, kamu tidur, gih, sana. Udah hampir jam satu di sana.”
Valia sebenarnya sudah tidak kesal lagi setelah melihat senyum 1000 watt milik Yoga. Tapi ia tidak ingin Yoga tahu kalau ia telah terpesona dengan senyumannya, maka yang keluar dari mulutnya adalah, “Bye.” Hanya satu kata itu.
“Jangan lupa mimpiin aku, Baby!” Jawaban itu terdengar sebelum Valia memutuskan sambungan dan efeknya, Valia nyaris terjaga sepanjang malam karena memikirkan ucapan terakhir Yoga. Keesokan harinya, Valia tidak dapat fokus dengan ujiannya dan Yoga masih memenuhi kepalanya.
***
Hubungan-tak-jelas-statusnya itu bertahan hingga saat ini. Empat tahun sudah Valia dan Yoga bertahan dalam ikatan yang tak bernama dan dipisahkan oleh jarak, ruang dan waktu.
Valia masih di Indonesia, dengan toko kuenya dan sebagai salah satu penulis terbaik di negerinya. Sementara Yoga, ia masih di Prancis dengan pekerjaannya dan sesekali berkunjung ke Indonesia untuk bertemu kedua orang tuanya dan tentu saja, Valia.
Valia tidak tahu kenapa ia bisa bertahan dengan hubungan semacam ini selama beberapa tahun ini. Sering ia mencoba untuk mencari lelaki yang lebih “nyata” dan dekat, namun saat itu bumi seolah-olah punya magnet dan kembali mendekatkannya dengan Yoga. Lama-lama Valia bosan dengan usahanya untuk menyingkirkan Yoga dari hidupnya dan memilih untuk pasrah dan menikmati jalan yang mungkin sudah takdir gariskan untuk hidupnya.
Yah, walaupun sebenarnya Valia menikmati sekali keadaannya sekarang ini. Apalagi setelah tadi pagi seorang kurir mengantarkan sebuket bunga krisan berwarna ungu ke kantornya.
Krisan ungu yang cantik untuk gadis tercantik.
Have a great day, Sweetheart. Makan yang teratur, ya! Jangan sibuk-sibuk banget.
- Yoga
P.S: I miss you soooo much.
Valia kembali tertawa membaca kertas yang terselip di antara bunga krisan. Walaupun itu bukan tulisan Yoga, tapi Valia tahu benar kalau itu adalah kata-kata Yoga.
“Dari cowok itu lagi?”
Langkah Valia terhenti. Ia menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Mamanya tengah berdiri di depan pintu kamar seraya bersedekap. Valia tersenyum. Ia langsung melangkahkan kakinya untuk mencapai wanita yang paling disayangi dan dihormatinya itu. “Kok Mama nggak ngabarin Valia dulu, sih, kalau udah pulang?” Valia mengucapkan kalimat itu setelah menyalami Mamanya, berusaha untuk mengubah topik obrolan.
Namun, sepertinya usaha Valia tidak berhasil. Mamanya bersikeras untuk  tetap membahas topik yang paling dihindarinya. “Udahlah, Val, nggak usah berhubungan lagi dengan dia. Hubungan kalian itu nggak ada masa depannya. Lebih baik sekarang kamu fokus cari calon suami. Kamu udah 25 tahun, tahun ini.”
“Mama...” Suara Valia melirih mendengar penuturan Mamanya.
Hubungan kalian itu nggak ada masa depannya. Kalimat itu menancap dalam di hatinya.
“Liat, teman-teman kamu yang lain udah pada punya suami, bahkan ada yang udah punya anak 2. Mama ini makin tua, Val. Mama nggak mungkin terus jagain kamu selamanya. Kamu harus mencari laki-laki yang bisa menjaga kamu.”
“Tahun ini Yoga bakal balik lagi ke Indonesia kok, Ma. Mama tenang aja—”
“Tenang kata kamu? Apa kamu yakin kalau dia di luar negeri sana nggak punya cewek lain?  Mama aja yang memikirkan itu cemas. Mama cuman nggak ingin kamu disakiti oleh laki-laki yang bahkan, nyaris tidak nyata.”
“Yoga nyata, Ma. Yoga ada. Dan Mama gak perlu ragu apalagi cemas. Aku yang menjalaninya, jadi aku lebih tahu dari Mama,” tandas Valia dengan suara yang bergetar karena menahan segala macam bentuk perasaan dan langsung berlalu menuju kamar tidurnya.
Di kamar, setelah melempar buket bunga pemberian Yoga ke dalam kulkas, Valia menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Lagi. Ia menangis untuk hal yang berulang-ulang kali terjadi. Harusnya ia maklum hal ini terjadi lagi karena ia sudah terbiasa. Namun, selalu ada yang tersakiti di dalam dirinya ketika Mamanya memaksanya untuk menggantikan Yoga.
Selain jarak dan waktu, restu adalah salah satu dari banyaknya ganjalan hubungan Valia dan Yoga. Valia tidak mengerti kenapa Mamanya bersikeras menyuruhnya untuk mencari laki-laki lain. Padahal Mamanya tahu kalau ia sangat mencintai Yoga, bagaimana pun bentuk hubungan mereka saat ini. Dan Valia yakin, bagi Yoga dirinya adalah satu-satunya.
Valia meraih ponsel yang ada di saku celana jinsnya dan mengetikkan pesan kepada Yoga.
Aku harus gimana, Ga...
***
From: Yoga
Don’t give up on me. Just don’t say goodbye, Baby.
Received: March, 11 2025
***
Hari ini Valia sampai di rumah lebih cepat dari biasanya. Tadi Mamanya menelpon bahwa Mamanya akan menyambut tamu dan Valia harus bersiap-siap.
“Memangnya siapa sih, yang datang, Ma?” tanya Valia sembari menatap Mamanya yang kini telah rapi dengan balutan kebaya berwarna merah dan kain songket yang senada.
“Udah, kamu jangan banyak tanya. Tungguin aja tamunya datang.”
Valia yang saat ini juga mengenakan kebaya yang serupa dengan Mamanya hanya bisa mengangguk dan menurut.
Lima belas menit kemudian, suara derum mobil terdengar di depan rumahnya. Mama Valia sontak berjalan cepat menuju pintu depan dan menyambut tamu yang sudah ditunggunya sejak tadi.
Valia terkejut saat melihat rombongan yang keluar dari mobil adalah keluarga Yoga. Dan lebih terkejut lagi ketika melihat Yoga keluar dari mobil yang lainnya. Mata Valia kini tertuju pada pemandangan di sisi teras lainnya. Mamanya dan Mama Yoga tengah mengobrol dengan akrab dan sangat heboh.
“Hai.”
Valia kembali menolehkan kepalanya kepada Yoga yang saat ini ada di hadapannya. Mata Valia mengerjap beberapa kali. “Kamu... nyata, kan?” Kalimat itu begitu saja meluncur dari bibir Valia. Ia masih menatap Yoga lekat-lekat.
Yoga terkekeh. Ia menangkup wajah Valia dengan kedua tangannya. “Ini aku, Sayang. Apa kamu masih belum yakin? Apa perlu aku buktikan dengan ‘cara’ lain?” Seringai jail menghiasi wajah Yoga.
Valia akhirnya sadar dan yakin kalau yang ada di hadapannya saat ini adalah Yoga. Ia melepaskan tangan Yoga yang menangkup wajahnya dan mundur beberapa langkah. “Kapan kamu balik? Kok nggak bilang ke aku? Terus, ini apa? Kenapa rame banget? Kenapa orang tua kamu ke sini?” tanya Valia beruntun. Ia benar-benar harus menuntaskan rasa penasarannya sekarang juga. Dan menyuarakan segala pertanyaan yang ada di kepalanya adalah satu-satunya pilihan yang tersisa.
Easy, Baby. Easy.” Hanya itu yang sempat diucapkan Yoga karena Mamanya sudah menyuruh mereka masuk ke dalam rumah.
Valia tidak punya pilihan lain selain mengikuti apa yang diperintahkan oleh Mamanya. Kepalanya pusing memikirkan apa yang telah terjadi saat ini sebenarnya.
***
So, we’re engaged?” tanya Valia masih tidak percaya.
Saat ini mereka tengah duduk di teras depan rumah Valia. Sementara para tetua sibuk menentukan tanggal pernikahan mereka, Yoga memilih untuk menyingkir sejenak untuk mengajak Valia mengobrol berdua saja. Ia tidak tega melihat wajah bingung Valia sepanjang acara pertunangan dan lamaran tadi.
“Mm-hm. No doubt. Bahkan orang tuaku juga udah ngelamar kamu tadi ke Mama kamu,” jawab Yoga lembut seraya mengusap-usap kepala Valia.
“Tapi, kok bisa? Maksudku, Mama kan kurang setuju sama kamu. Bahkan, kemarin pun Mama masih ngomel tentang hubungan kita.”
“Kata siapa? Mama kamu setuju kok sama aku, setuju banget malah.” Yoga tersenyum bangga. “Aku memang minta Mama kamu buat bersikap seolah-olah masih nggak setuju dengan hubungan kita sampai aku balik ke Indo dan bawa orang tuaku ke sini. Aku pengin kasih kejutan ke kamu dan, voilá, berhasil.”
“Kok bisa?”
“Karena aku sayang kamu.”
Valia mencebik kesal mendengar jawaban asal Yoga. “Ditanyain serius juga, ih!”
Yoga terkekeh mengambil ponsel di saku celana bahannya. Ia membuka aplikasi email dan memberikannya kepada Valia.
Valia menerima ponsel tersebut dengan bingung. Namun ketika melihat kotak keluar email Yoga, Valia mulai menyusun jawaban atas segala pertanyaannya.
“Kamu udah berhubungan sama Mama bahkan sejak 3 tahun yang lalu?” tanya Valia tanpa menatap Yoga. Ia masih khusyu dengan ponsel Yoga yang ada di genggamannya.
Yoga mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mm-hm. Dan meyakinkan Mama kamu kalau akulah yang terbaik untuk kamu, bukanlah hal yang mudah. Baru beberapa bulan belakangan ini Mama kamu mulai open denganku.”
Valia tidak membalasnya. Kini ia duduk bergeming dengan mata menatap kosong ke ponsel Yoga yang layarnya telah hitam.
“Val...”
“Hmm?”
Yoga memutar tubuhnya sehingga saat ini ia duduk berhadapan dengan Valia. “Makasih ya, udah bertahan sejauh ini sama aku.” Yoga memainkan cincin tunangan mereka yang melingkar manis di jari manis Valia. “Dengan hubungan kita sebelumnya yang nggak jelas ke mana arahnya, kamu masih mau bertahan sama aku. Sekalipun jarak ribuan mil memisahkan kita. The only thing I can say to you is thank you and I love you.”
Perasaan Valia tereenyuh. Kini Valia merasa tidak ada yang lebih sempurna lagi dari keadaannya saat ini. Saat ini ia telah bertunangan, bahkan sebentar lagi akan menikah dengan Yoga. Dan Mamanya merestui itu. Kebahagiaan Valia semakin lengkap mendengar ungkapan cinta dari Yoga. Tanpa bisa menahannya, Valia menghambur ke dalam pelukan Yoga dan mendekap erat tubuh itu.
Thank you,” bisik Valia lirih. “Thank you for bring this happiness to me. And I love you too, My Dearest Man.”
Kisah mereka mungkin tidak selamanya bahagia, tapi untuk sekarang, mereka sudah meresa cukup. Mereka sangat bahagia. Dan sekarang, mereka telah saling menggenapkan dengan berada di pelukan satu sama lain. Tanpa jarak ribuan mil yang membatasi raga dan perasaan mereka.
Untuk saat ini, semuanya sempurna.
***
Suara kau di hati
Terbawa di mimpi
Walau kau di sana,
Aku tak sendiri.
Ada kau di hati
Engkau selalu bersama aku.
(Ada oleh Sherina, 2013)
==END==
Pekanbaru, 12-4-2015
7.15

5 komentar:

  1. Waaaaaaahhhh ditungguu kelanjutannya dek haha kereennn

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lanjutannya mah kita nunggu Abang sama Valia aja yang menjalani heheheh. Anw, thanks yooo

      Hapus

Popular Posts