(Taken from the intermezzo of Bittersweet Wedding Disaster)
Di
luar, langit sehitam jelaga. Gemintang satu per satu ditelan awan sejak tadi. Purnama
kali ini mempersingkat eksistensinya, mengalah pada serbuan awan yang ingin
menguasai mendungnya langit malam ini. Yang tersisa hanyalah gemerlap malam
kota besar yang dikepung mendung.
Ini
sudah hampir tengah malam, tapi kamu masih duduk bergeming menatap ke luar jendela.
Aku tidak dapat mengira-ngira apa yang sedang kamu tatap begitu khusyuknya oleh
kedua matamu yang bengkak. Sesekali kamu menyeruput cairan di hidungmu, suaramu
kentara sekali bergetar kala melakukannya. Di pangkuanmu terdapat sebuah toples
kaca bening yang berisi kertas berbagai warna. Aku ingat, itu adalah hadiah
yang sudah kusiapkan beberapa hari belakangan ini untuk hari spesialmu. Kamu
memeluk erat-erat toples kaca tersebut, seolah-olah itu adalah benda berharga
yang kamu miliki satu-satunya.
Kamu
kacau. Benar-benar kacau. Wajahmu semendung langit malam ini, aku tidak suka.
Oh, kecuali jilbab yang kali ini membingkai wajahmu. Kamu cocok sekali
mengenakannya. Dan warnanya putih, aku suka.
Ingin
sekali aku menghapus semua kesedihan yang kamu rasakan saat ini, sekalipun aku
tahu bahwa akulah penyebab kesedihanmu itu. Apa pun akan kulakukan, asal kakiku
dapat kembali menjejak tanah. Semua permintaanmu akan kabulkan, asal tangan ini
dapat menggapaimu lagi. Aku akan memelukmu sepanjang malam agar kamu dapat
lelap dengan nyenyak kalau saja ruh ini dapat kembali ke sang raga.
Aku
terperangkap di dimensi antah berantah ini. Tak satu pun jalan keluar yang
kutemui sedari tadi mencari. Aku benci ketidakberdayaan ini. Aku benci melihatmu
bersedih. Dan aku benci karena telah
membuatmu menangis hingga mata indahmu kehilangan sinarnya. Terlebih, sebentar
lagi hari spesialmu itu akan tiba.
Aku
hanya bisa berharap agar sang waktu dapat berhenti berhitung menjelang tengah
malam, hingga ruh ini kembali lagi pada raganya. Aku ingin menjadi orang
pertama yang mengucapkan “selamat ulang tahun” kepadamu. Aku ingin menjadi
orang pertama yang menuturkan untaian doa tulus tepat tengah malam nanti. Aku
ingin menjadi orang pertama yang kamu peluk di tahun ke-19-mu.
Segala
harapan dan keinginanku terpaksa pupus ketika jam berdentang duabelas kali.
Sudah masuk tengah malam dan aku masih seperti ini: berbentuk ruh yang tak
dapat melakukan apa pun selain menyaksikan kehancuran kamu di hari ulang
tahunmu sendiri. Dan itu karena aku.
Tangismu
kembali pecah. Air mata itu kembali menganak sungai di kedua pipimu yang pucat.
Suara isakanmu yang menyesakkan siapa pun yang mendengarnya kembali bergema di
ruangan sepi ini. Kamu meraih kedua lututmu dan menyembunyikan wajahmu di sana.
Samar-samar
terdengar gumam di antara isakanmu, ‘Tuhan, kumohon... kembalikan dia kepada
kami. Kembalikan dia kepadaku. Aku sangat menyayanginya. Kumohon, Tuhan....’
Sekujur
jiwaku merasakan sakit yang tak tertahan. Aku memang pernah melihatmu sedih
sebelumnya, tapi aku belum pernah melihatmu hancur seperti sekarang ini. Oh,
Sayang, kumohon, jangan begini. Ini sama saja kamu sedang berusaha membunuhku.
‘Maafkan
aku. Semua ini salahku. Maafkan aku.... ’
Tidak
ada yang perlu dimaafkan, Sayang. Ini bukan salahmu. Justru, akulah yang
harusnya meminta maaf karena sudah membuat hari ulang tahunmu kali ini menjadi
hancur berantakan.
Kalau
saja waktu mengasihaniku sedikit saja, ada “selamat ulang tahun” yang harus
diucapkan tepat waktunya. Untuk dia yang masih terjaga, menantiku.
***
Mundurlah, wahai Waktu
Ada "Selamat ulang
tahun"
Yang tertahan tuk
kuucapkan
Yang harusnya tiba
tepat waktunya
Dan rasa cinta yang
s'lalu membara
Untuk dia yang terjaga
Menantiku
(Selamat
Ulang Tahun oleh Dewi Lestari, 2009)


0 komentar:
Posting Komentar