Sebelum
memulai, kujelaskan terlebih dahulu bahwa aku bukanlah praktisi di bidang
kesehatan mental atau sebagainya. Di sini aku hanya akan bercerita sebagai
orang yang pernah mengalami dan melewati pertarungan antara aku dan diriku
sendiri sehingga cerita di bawah tidak mengandung indikasi medis apa pun.
Jangan ragu untuk mencari pertolongan kepada yang ahli pada bidangnya jika kamu
takmampu mengendalikannya sendiri.
Kalau
ada yang tanya apa yang paling kubanggakan dari diriku, maka akan kujawab bahwa
aku, walaupun overthinker, adalah
orang yang paling positif di lingkungan sekitarku! Aku selalu menjejali
pikiranku dan orang-orang di sekitarku dengan pemikiran-pemikiran positif
dengan prinsip hidup let it flow. Tidak
heran cukup banyak yang merasa nyaman dengan kelebihanku itu sehingga mereka
bersedia untuk berbagi segala bentuk ceritanya kepadaku.
Dari
dulu, aku senang mendengarkan cerita dari orang-orang sekitarku. Aku senang
tiap kali mereka mencariku untuk bercerita dan bersyukur karena mereka begitu
memercayaiku. Jika butuh, aku akan berusaha membantu memberikan mereka solusi
dari masalah yang mereka alami, atau cukup menjadi pendengar yang baik jika aku
tidak bisa relate dengan masalah
mereka. Memang, dari dulu aku tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan mental walaupun pada akhirnya sepertinya aku tidak akan bisa menjadi
praktisi di bidang ini, namun aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan menjadi
salah satu dari mereka yang sempat membutuhkan pertolongan.
Seperti
yang telah kujelaskan, aku selalu berusaha untuk menjadi pendengar yang baik bagi
siapa pun yang butuh tempat untuk bercerita, namun entah mengapa aku merasa
keadaannya berbeda denganku. Walaupun aku memiliki orang tua yang suportif,
teman-teman yang cukup banyak dan saling mengerti antara satu dengan yang
lainnya, tidak mudah bagiku untuk berbagi suatu cerita yang kualami tahun lalu
kepada mereka. Aku selalu berpikiran bahwa mereka tidak akan bisa relate dengan apa yang kualami dan
akhirnya men-judge concern-ku pada saat itu. Dari yang
kusadari, cerita itu kemudian menjadi boomerang
bagi diri sendiri dan menjadi pemicu stres yang efeknya cukup parah.
Saat
itu pikiranku sangat kacau. Jika mengingatnya lagi sekarang, yang dapat
kugambarkan adalah di dalam kepalaku terdapat awan gelap beserta petir yang
enggan menurunkan hujannya dan memilih bertahan selama beberapa bulan di sana.
Berbulan-bulan aku dirundung suram yang diciptakan oleh pikiranku sendiri.
Malam-malam kulalui dengan menangis dan berpikir bahwa aku adalah manusia yang
tidak akan pernah menjadi cukup dan berguna bagi siapa pun.
Sangat
melelahkan menjadi orang yang pemikir dan cenderung overthinking. Aku memilih untuk tidak menceritakan masalah yang
kupunya kepada orang lain, tapi diriku sendiri tidak mampu mengendalikannya dan
membuatnya lebih parah dengan kebiasaan overthinking-ku.
Terlebih pada saat itu aku tidak tahu apa yang tepatnya sedang kualami. Aku
menolak mencari tahu karena aku takut akan mendiagnosis dan melabeli diri
sendiri dengan keliru.
Puncaknya
waktu itu ketika aku sadar aku terlambat haid hampir dua bulan lamanya, diikuti
dengan aku yang semakin merasa tidak berdaya—lemas, tidak memiliki energi dan
motivasi untuk hidup—setiap harinya. Pada saat itu mau tidak mau aku harus
berusaha mencari tahu apa yang terjadi hingga menyebabkan indikasi lain dan
berkaitan dengan fisikku. Aku akhirnya berusaha keluar dari pemikiran suramku
dan mengambil beberapa langkah mundur agar dapat melihat semua yang aku alami
selama beberapa bulan belakangan dengan lebih jelas. Pada saat ini, aku baru
berani mencari pertolongan kepada ahlinya walaupun mungkin hasilnya tidak
maksimal.
Masih
dengan pendirian untuk tidak mendiagnosis dan melabeli diri sendiri, aku
akhirnya menceritakan SEMUANYA kepada psikolog melalui platform konseling yang cukup terkenal di Indonesia. Ya, setelah
berusaha menerima kenyataan bahwa aku sedang tidak baik-baik saja dan berusaha
untuk mengambil langkah mundur, akhirnya aku tahu apa yang menjadi pemicu dari perilaku
dan kebiasaan anehku beberapa bulan belakangan. Pada awalnya aku memang hanya
memilih untuk menceritakan semuanya kepada psikolog setelah selanjutnya aku
merasa lebih baik dan akhirnya mulai terbuka kepada orang tua dan teman-temanku
pada tahun selanjutnya.
Tidak
mudah untuk terbuka kepada orang lain tentang apa yang kualami berbulan-bulan
waktu itu, bahkan ketika aku sudah mulai berfungsi dengan normal seperti sedia
kala. Sekalipun kepada orang tua sendiri, aku tetap butuh waktu berbulan-bulan
untuk meyakinkan diri untuk terbuka akan apa yang sempat kualami. Dan ketika
aku akhirnya menceritakannya dan mendapatkan respons yang baik, kurasa di sana
titik balikku dalam bagaimana seharusnya aku setidaknya lebih terbuka atau
berusaha memberi sinyal dari awal jika aku mulai mengalami gejala seperti yang
sempat kualami tahun lalu.
Aku
memang menceritakan semua masalahku kepada psikolog, tapi aku tidak berusaha
untuk mencari tahu tepatnya kenapa aku waktu itu. Lambat laun aku mulai
menyimpulkan yang kualami waktu itu adalah stres dan setiap aku mengalami itu
lagi, aku mulai bisa tahu indikasinya dan lebih mudah dalam mencari jalan
keluarnya. Mungkin karena aku sempat ada di tahap struggling sampai akhirnya overcome
it dan sampai pada fase menerima keadaanku pada saat itu, sehingga jika itu
terjadi lagi akan jadi lebih mudah dan cepat buatku keluar dari masa-masa
sulit.
Sampai
detik ini, masa-masa sulit itu masih datang (dan tetap dipicu dari—pikiran—diri
sendiri, seperti biasanya), tetapi tidak pernah seekstrem dan sesuram sebelum
aku menerima keadaan bahwa aku sedang tidak baik-baik saja dan mencari
pertolongan. Ketika indikasi-indikasi seperti kejadian sebelumnya, seperti asam
lambung yang tiba-tiba naik padahal aku tidak memakan makanan pantangan, atau
telat haid lebih dari seminggu, atau bahkan tiba-tiba demam setelah sebelumnya
sempat mengalami kesedihan yang begitu dalam tanpa mengalami pemicu demam pada
umumnya, maka pada saat itu aku tahu aku harus berhenti berpikir dengan
berlebihan, mengambil beberapa langkah mundur, dan menganalisis pemicu dan
jalan keluar dari masalahku saat itu.
Memang
cukup panjang waktu yang dibutuhkan dalam tahap menerima keadaanku yang
sebenarnya pada waktu itu hingga mencoba terbuka kepada orang lain. Tapi aku
mau tidak mau harus tetap melakukannya, kan? Karena bagaimana pun hidup tetap
harus berjalan, dan sebelum aku melawan dunia, aku tentu harus melawan “hantu”
yang ada dalam diriku sendiri. Oleh karenanya, aku menyebut pertarungan ini
adalah pertarungan antara aku dan diriku sendiri. Dan untuk memenangkannya, aku
tentu harus mengenali dan berdamai dengan diriku sendiri, karena tidak ada yang
lebih mengetahui aku selain diriku
sendiri.
Bagi
kalian yang merasa mengalami pengalaman yang serupa dan merasa membutuhkan
pertolongan, mungkin kalian bisa mencoba langkah pertama yang kuambil yaitu
dengan menghubungi psikolog yang ada di ibunda.id, kalian bisa buka profil
Instagram mereka untuk info lebih lanjutnya. Dan sekali lagi, jangan ragu untuk
mencari pertolongan yang lebih spesifik jika kalian merasa mulai tidak bisa
mengendalikannya sendirian.
Kalau aku bisa
melewatinya, kuyakin kalian pun bisa melakukannya. Semangat! ♥


0 komentar:
Posting Komentar